Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A
Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[1].
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”
(QS Huud:120).
Ketika menjelaskan makna ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].
Menjadikan diri sebagai panutan dalam keluarga
Termasuk teladan kebaikan yang utama bagi keluarga kita adalah diri kita sendiri, karena tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[3].
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[4].
Oleh karena itu, seorang pendidik yang ingin berhasil dalam mendidik anggota keluarganya, hendaknya berusaha memanfaatkan keberadaannya di tengah-tengah keluarganya untuk mendidik dan mengarahkan mereka kepada petunjuk Allah Ta’ala, bukan hanya dengan ucapan dan nasehat, tapi lebih dari itu, dengan menampilkan teladan baik yang langsung terlihat di mata mereka.
Hal ini disamping membiasakan mereka melihat praktek amal-amal kebaikan, juga akan menumbuhkan kecintaan dan kekaguman dalam diri mereka terhadapnya, yang pada gilirannya akan memudahkan mereka untuk mengikuti semua bimbingan dan petunjuknya.
Dalam hal ini, imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi rahimahullah [5]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki rahimahullah, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[6].
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata: “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[7].
Memberi manfaat rohani bagi anggota keluarga
Seorang pendidik yang berilmu diperumpamakan seperti hujan yang baik, dimanapun dia berada maka dia akan memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya[8].
Inilah makna firman Allah Ta’ala tentang ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam:
{وَجَعَلَنِي مُبَارَكاً أَيْنَ مَا كُنتُ}
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada”
(QS Maryam:31).
Artinya: Dia menjadikan aku bermanfaat bagi orang-orang yang hidup di sekitarku, dengan aku mengajarkan kebaikan kepada mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta menyeru mereka ke jalan Allah dengan ucapan dan perbuatanku”[9].
Di dalam biografi beberapa ulama salaf, kita dapati banyak kisah nyata peranan seorang pendidik dalam memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang yang hidup di sekitarnya.
Misalnya, apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri rahimahullah [10], ketika Khalid bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13].
Demikian pula apa yang disebutkan dalam biografi imam Abdur Rahman bin Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan al-Qurasyi[14], bahwa beliau adalah seorang yang sangat tekun beribadah, maka suatu hari imam Ali bin Abdullah bin ‘Abbas[15] melihatnya dan kagum dengan ketekunannya beribadah, maka beliaupun meneladaninya dalam kebaikan[16].
Inilah gambaran keberkahan hidup dan manfaat keberadaan seorang pendidik di tengah masyarakatnya, terlebih lagi di tengah keluarganya, orang-orang yang paling berhak mendapatkan manfaat baik darinya.
Sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim
Tentu saja, sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku diutus (oleh Allah Ta’ala) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[17].
Beliau r adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allah Ta’ala, mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[18]. Oleh karena itulah Allah Ta’ala sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(QS al-Qalam:4).
Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[19].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
(QS al-Ahzaab:21).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[20].
Kemudian setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya:
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata”
(QS al-Mumtahanah:4).
Ketika mengomentari ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan Rasul ‘alahis salam, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [21].
Demikian pula para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang beriman, karena Allah Ta’ala memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an,
di antaranya firman-Nya:
{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Muhammad itu adalah utusan Allah Ta’ala dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”
(QS al-Fath:29).
Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”[22].
Pengaruh positif teladan yang baik bagi keluarga
Diantara pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”
(QS Huud:120).
Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah Ta’ala.
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul ‘alaihimussalam yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah Ta’ala menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[23].
Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [24].
Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allah Ta’ala, yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allah Ta’ala, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allah Ta’ala) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[25].
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kaum muslimin, utamanya bagi mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik anggota keluarganya.
Dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua, dan memudahkan kita menjadi penyebab kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita, utamanya keluarga kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Catatan Kaki:
[1] HSR al-Bukhari (no. 3158) dan Muslim (no. 2638).
[2] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 392).
[3] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[4] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir beliau (hal. 271).
[5] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi rahimahullah (wafat 285 H), biografi beliau rahimahullah dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[6] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[7] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).
[8] Lihat kitab “Ma’aalimu fi thariiqi thalabil ‘ilmi” (hal. 131).
[9] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (4/454) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 492).
[10] Beliau rahimahullah adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri rahimahullah, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam rahimahullah (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
[13] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (2/576).
[14] Beliau adalah cucu sahabat yang mulia ‘Utsman bin ‘Affan t, seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 335).
[15] Beliau adalah putra sahabat yang mulia Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 403).
[16] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (5/10-11).
[17] HR Ahmad (2/381) dan al-Hakim (no. 4221), dishahihkan oleh al-Hakim rahimahullah dan disetujui oleh adz-Dzahabi rahimahullah, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 45).
[18] Lihat keterangan imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[19] HSR Muslim (no. 746).
[20] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir beliau (hal. 481).
[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 856).
[22] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 1118).
[23] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[24] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).
[25] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).
Kota Kendari, 25 Sya’ban 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel Dari : Madrasah Ibnu Abbas dan dipublikasikan kembali oleh Artikel Islam Salafiyah